Otoriter yang berbaju demokrasi selama Orde baru,
mengkerdilkan semangat, kecerdasan dan adab demokrasi yang sebenarnya mulai
tumbuh sejak Pemilu pertama, tahun 1955. Pendidikan demokarsi dan pendidikan
politik mengerucut ke arah pengkultusan Suharto dan Golkar sebagai satu-satunya
pemegang kekuasaan yang dinobatkan sebagai yang mampu menyelematkan bangsa dan
negara ini. Partai politik berfusi menjadi PPP dan PDI. Untuk menghambat
perkembangannya, partai diposisikan sebagai sesuatu yang merusak dan politik
sebagai sesuatu yang membahayakan masa depan bangsa. Hal ini dipublikasikan
dengan keberadaan Golkar sebagai kontestan Pemilu yang tidak pernah dan
berpantang disebut sebagai partai politik.
Hal ini disadari atau tidak, memberi bekas yang
tidak dapat dianggap enteng di tengah masyarakat Indonesia. Bekas yang
membangun pandangan "buruk" masyarakat terhadap partai politik dan
politik. Ditambah lagi, tidak satupun orang yang berani menghidupkan pandangan,
baik dikalangan akademisi maupun ditengah masyarakat dizaman Orde Baru, bahwa
sebenarnya model demokrasi Indonesia di zaman Orde Baru sebagai tampilan model
demokrasi yang "aneh". Dimana, kontestan Pemilu ada yang
didefinisikan sebagai bukan partai politik tetapi ikut Pemilu melawan partai
politik. Sehingga tidak ada lagi "mercusuar" yang dapat dijadikan
rambu-rambu bahwa pada hakikatnya peserta Pemilu adalah partai politik, tidak
ada yang menghidupkan pemahaman walaupun sebatas "lilin kecil" bahwa
politik dan partai politik adalah elemen demokrasi dalam kontestasi demokrasi,
sehingga keberadaan Golkar sebagai bukan partai dalam kontestasi/Pemilu,
diyakini publik sebagai yang bukanlah suatu pembohongan tetapi sesuatu yang
benar adanya.
Keadaan "pandangan dan pemahaman"
rakyat Indonesia secara umum seperti gambaran di atas, haruslah kita sadari
sebagai keadaan titik awal/modal awal demokrasi kita yang tumbuh kembali sejak
reformasi 1998 menumbangkan rezim Orde Baru. Adalah sesuatu yang
"aneh" menurut saya, ketika kita tidak memandang "kerabunan
politik" rakyat akibat keadaan di atas, dalam memandang "tingkat
kecerdasan" politik rakyat akhir-akhir ini.
Maka adalah aneh juga, kalau memang benar-benar
tulus untuk membangun peradaban demokrasi bangsa ini dan produknya ke arah yang
lebih baik, kalau mengenyampingkan "keadaan pandangan politik rakyat"
dan hanya memfokuskan pandangan pada partai politik dan pemegang jabatan
politik. Adalah "aneh" kalau kita hanya mencerca, menyesali dan
membangun antipati terhadap partai politik dan pejabat politik karena kekesalan
terhadap keadaan produk politik, tanpa melihat modal awal demokrasi kita yang
ada di tengah-tengah rakyat." Dari rakyat" yang seperti apa, akan
berkorelasi yang signifikan terhadap "oleh rakyat" yang melahirkan
"untuk rakyat" yang seperti apa.
Kalau kita sepakat dengan pandangan ini,
persoalannya sekarang adalah "siapa" yang harus berperan dalam
memperbaiki tingkat "kecerdasan politik" rakyat untuk mengobati
" kerabunan politik" rakyat. Kalau kita serahkan sepenuhnya pada
partai politik, karena menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2011, pendidikan
politik merupakan salah satu fungsi dan kewajiban partai politik, menurut saya
adalah sesuatu yang "salah simpul". Karena pada hakikatnya, semua
partai politik dipastikan berjantung "oportunis". Bahkan partai
politik tidak akan pernah merasa berdosa untuk menciptakan "suatu
keadaan" yang buruk untuk dapat dimanfaatkan secara politis. Karena
diyakini, seluruh kadernya, dilapisan manapun berada, tentulah didoktrin untuk
itu.
Satu-satunya harapan untuk terjun mengobati
"kerabunan" politik rakyat ini, adalah kaum intelektuan non partisan.
Berbicara kepada rakyat dengan memanfaatkan media apapun, dengan teguh memegang
"kejujuran ilmiah". Tidak peduli apakah akan mencitrakan partai
tertentu atau mempermalukan partai tertentu. Tidak peduli apakah akan
menimbulkan keuntungan komparatif terhadap pejabat politik tertentu atau
mendatangkan kerugian komparatif. Terserah, apakah bergerak secara terorganisir
melalui organisasinya atau bergerak secara sendiri-sendiri. Yang jelas, kalau
kita membenarkan nasehat Bung Hatta, kaum intelektual non partisan mempunyai
"hutang" terhadap bangsa ini untuk meningkatkan kuantitas dan
kualitas kecerdasan politik rakyat dalam menyongsong masa depan yang jauh lebih
baik dari bangsa yang kita cintai ini.
Kaum intelektual non partisan dari putra-putri
bangsa ini, harus menjadi dukun untuk mengobati rabun politik rakyat Indonesia.