Jumat, 28 Desember 2012

"SIAPA DUKUN PENGOBAT RABUN POLITIK RAKYAT ?"


Otoriter yang berbaju demokrasi selama Orde baru, mengkerdilkan semangat, kecerdasan dan adab demokrasi yang sebenarnya mulai tumbuh sejak Pemilu pertama, tahun 1955. Pendidikan demokarsi dan pendidikan politik mengerucut ke arah pengkultusan Suharto dan Golkar sebagai satu-satunya pemegang kekuasaan yang dinobatkan sebagai yang mampu menyelematkan bangsa dan negara ini. Partai politik berfusi menjadi PPP dan PDI. Untuk menghambat perkembangannya, partai diposisikan sebagai sesuatu yang merusak dan politik sebagai sesuatu yang membahayakan masa depan bangsa. Hal ini dipublikasikan dengan keberadaan Golkar sebagai kontestan Pemilu yang tidak pernah dan berpantang disebut sebagai partai politik. 

Hal ini disadari atau tidak, memberi bekas yang tidak dapat dianggap enteng di tengah masyarakat Indonesia. Bekas yang membangun pandangan "buruk" masyarakat terhadap partai politik dan politik. Ditambah lagi, tidak satupun orang yang berani menghidupkan pandangan, baik dikalangan akademisi maupun ditengah masyarakat dizaman Orde Baru, bahwa sebenarnya model demokrasi Indonesia di zaman Orde Baru sebagai tampilan model demokrasi yang "aneh". Dimana, kontestan Pemilu ada yang didefinisikan sebagai bukan partai politik tetapi ikut Pemilu melawan partai politik. Sehingga tidak ada lagi "mercusuar" yang dapat dijadikan rambu-rambu bahwa pada hakikatnya peserta Pemilu adalah partai politik, tidak ada yang menghidupkan pemahaman walaupun sebatas "lilin kecil" bahwa politik dan partai politik adalah elemen demokrasi dalam kontestasi demokrasi, sehingga keberadaan Golkar sebagai bukan partai dalam kontestasi/Pemilu, diyakini publik sebagai yang bukanlah suatu pembohongan tetapi sesuatu yang benar adanya. 

Keadaan "pandangan dan pemahaman" rakyat Indonesia secara umum seperti gambaran di atas, haruslah kita sadari sebagai keadaan titik awal/modal awal demokrasi kita yang tumbuh kembali sejak reformasi 1998 menumbangkan rezim Orde Baru. Adalah sesuatu yang "aneh" menurut saya, ketika kita tidak memandang "kerabunan politik" rakyat akibat keadaan di atas, dalam memandang "tingkat kecerdasan" politik rakyat akhir-akhir ini. 

Maka adalah aneh juga, kalau memang benar-benar tulus untuk membangun peradaban demokrasi bangsa ini dan produknya ke arah yang lebih baik, kalau mengenyampingkan "keadaan pandangan politik rakyat" dan hanya memfokuskan pandangan pada partai politik dan pemegang jabatan politik. Adalah "aneh" kalau kita hanya mencerca, menyesali dan membangun antipati terhadap partai politik dan pejabat politik karena kekesalan terhadap keadaan produk politik, tanpa melihat modal awal demokrasi kita yang ada di tengah-tengah rakyat." Dari rakyat" yang seperti apa, akan berkorelasi yang signifikan terhadap "oleh rakyat" yang melahirkan "untuk rakyat" yang seperti apa. 

Kalau kita sepakat dengan pandangan ini, persoalannya sekarang adalah "siapa" yang harus berperan dalam memperbaiki tingkat "kecerdasan politik" rakyat untuk mengobati " kerabunan politik" rakyat. Kalau kita serahkan sepenuhnya pada partai politik, karena menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2011, pendidikan politik merupakan salah satu fungsi dan kewajiban partai politik, menurut saya adalah sesuatu yang "salah simpul". Karena pada hakikatnya, semua partai politik dipastikan berjantung "oportunis". Bahkan partai politik tidak akan pernah merasa berdosa untuk menciptakan "suatu keadaan" yang buruk untuk dapat dimanfaatkan secara politis. Karena diyakini, seluruh kadernya, dilapisan manapun berada, tentulah didoktrin untuk itu. 

Satu-satunya harapan untuk terjun mengobati "kerabunan" politik rakyat ini, adalah kaum intelektuan non partisan. Berbicara kepada rakyat dengan memanfaatkan media apapun, dengan teguh memegang "kejujuran ilmiah". Tidak peduli apakah akan mencitrakan partai tertentu atau mempermalukan partai tertentu. Tidak peduli apakah akan menimbulkan keuntungan komparatif terhadap pejabat politik tertentu atau mendatangkan kerugian komparatif. Terserah, apakah bergerak secara terorganisir melalui organisasinya atau bergerak secara sendiri-sendiri. Yang jelas, kalau kita membenarkan nasehat Bung Hatta, kaum intelektual non partisan mempunyai "hutang" terhadap bangsa ini untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas kecerdasan politik rakyat dalam menyongsong masa depan yang jauh lebih baik dari bangsa yang kita cintai ini. 

Kaum intelektual non partisan dari putra-putri bangsa ini, harus menjadi dukun untuk mengobati rabun politik rakyat Indonesia.